Cari Blog Ini


Mau Menulis Sastra Apa? Sastra Murahan, Picisan, Curhat atau yang Benar-benar Sastra?

Written By Menulis untuk Kehidupan on Selasa, 17 April 2012 | Selasa, April 17, 2012

Mau Menulis Sastra Apa? Sastra Murahan, Picisan, Curhat atau yang Benar-benar Sastra?
Tak ada tetapi saat kita hidup dalam saat. Tak ada kuasa yang bermain dalam semesta, tiada yang jadi puisi, jadi drama, tanpa cinta. Manusia senantiasa merasa memiliki daya untuk mencipta dan melenyapkan, sementara ia sesungguhnya tercipta dan terlenyapkan.
(Maka Berkatalah, Pengantar Buku Sekumpulan Puisi ‘Lalu Aku’)
Di penghujung tahun 2011, saya sempat menikmati masa liburan yang terasa bereflektif sastra. Pada satu kesempatan langka bisa bertemu dengan budayawan nasional Indonesia yang saat ini sedang naik daun, siapa lagi kalau bukan mas Radhar yang punya nama lengkap Radhar Panca Dahana, tulisan-tulisannya yang aktual sering kita baca dalam kolom opini Kompas dan Gatra. Selain menulis di harian dan majalah-majalah nasional itu, beliau juga telah membukukan puisi, prosa, komik, teater dan esai sejak tahun 1980an. Beruntung saya bisa mendapatkan satu buku antologi puisinya yang berjudul ‘Lalu Aku’.
Buku yang sudah lama tergeletak di meja saya itu baru terbaca pada bulan Desember tahun lalu. Awalnya saya pikir buku puisi biasa-biasa saja, dan bertapa terkejut saya mendapati puisi-puisi yang ada dalam buku ini begitu cerdas, dalam dan mempesona dengan diksi-diksi baru yang jarang digunakan penyair-penyair lainnya. Menjadikan saya penasaran siapa sih sosok seorang Radhar ini, karena dari guratan-guratan puisinya orang awam juga mampu membaca bahwa seseorang ini pastinya sangat luar biasa otak kanan maupun otak kirinya. Nah, itulah gunanya google, dengan berselancar ke kanan dan kiri, informasi terkumpulkan dan tersimpulkan bahwa seseorang ini selain sastrawan, seniman juga pendidik.
Demikianlah akhirnya waktu membawaku bisa bertemu dengan sosok budayawan yang sekarang sering di undang juga di stasiun-stasiun TV nasional untuk membahas fenomena-fenomena sosial di negara kita ini ditinjau dari sudut budaya kita. Yang teranyar kalau tidak salah tentang istilah pemerintahan auto pilot. Saya diundang ke markas Federasi Teater Indonesia miliknya di bilangan Lebak Bulus-Jakarta. Kebetulan dekat dengan kediamanku. Berbincang-bincang selama 2 jam lebih bersama mas Radhar, memberikanku beberapa pencerahan tentang sastra Indonesia dan seni budaya pada umumnya.
Tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini untuk menanyakan tentang keberadaan sastra terutama di dunia maya dewasa ini dalam pandangannya. Menarik sekali, mas Radhar memberikan beberapa pendapatnya tentang fenomena sastra di media berbagai sosial seperti di facebook, twitter dan jurnalisme warga lainnya.
Mas Radhar, memangnya bisa ya karya-karya yang di posting disana itu disebut karya sastra? Bukankah sastra itu seharusnya yang indah, elegan, menyentuh hati dan tidak cepat hilang ditelan karya lain dan terlupakan? Nah, menurutnya, bisa saja karya-karya disana disebut karya sastra, itulah sastra yang demokrasi. Saat ini, semua bisa membuat dan menikmati sastra, sastra demokratisasi yang bisa dinikmati semua lapisan, yang akhirnya mendegradasi nilai sastra itu sendiri.
Kok bisa sih terdegradasi? Karena sebenarnya yang ada saat ini adalah tingkatan dalam sastra ibarat air, yang terlihat hanya yang dipermukaan saja, tergeneralisasi. Semua orang bisa membacanya, mengerti dan merasakan indahnya, namun jika ingin memperdalamnya, menguak misteri dan keindahan sastra, kita harus menyelam lebih dalam lagi. Itulah kedalaman sastra, semakin mendalami akan semakin mendapat kemurniannya. Tapi saat ini, yang terlihat hanya yang ada di permukaan saja.
Sastra itu ada kaidah-kaidahnya, ada tingkatan-tingkatannya, kalau dia mudah itu bukan sastra tapi ungkapan perasaan, nah akhirnya munculah dari sana terbentuk tingkatan sastra. Ada sastra murahan dan picisan dan ada pula sastra murni (mungkin yang terakhir ini yang akan abadi, tidak tergerus oleh jamanyang karya-karya itu bisa dinilai oleh para pecinta, apresiator sastra, kritikus sastra dari bahasa yang dipakai, diksi yang digunakan, faktor estetika dan ungkapan-ungkapan (symbol/metafora) yang bisa diukur kedalamannya.
Selama pembicaraan bersama mas Radhar, saya serasa mendapatkan siraman rohani sastra. Kagum saya dengan sosok budayawan satu ini, yang menulis sejak umur 10 tahun dan pada saat ini untuk menjaga kualitas tulisannya, ia hanya menulis di dua media nasional saja, yaitu Kompas dan Gatra. Selain itu, beliau juga menjadi pendiri beberapa komunitas sastra dan seni seperti Mufakat Budaya, Balai Sastra Kecapi, Federasi Teater Indonesia dan Teater Kosong.
Mengapa hanya fokus menulis di dua harian dan majalah itu mas? Bukankah akan lebih baik jika banyak menulis di berbagai media malah lebih bagus? Menurutnya, jika kita terlalu sering menulis, selain akan membuat pembaca kita bosan dengan tulisan-tulisan kita dan kadang akhirnya kita sulit untuk menjaga kualitas tulisan kita.
(bisa jadi sih kalau sudah ahlinya menulis seperti beliau ini ya, jam terbangnya sudah tak terhitung. Kalau masih junior seperti saya ini sihkayaknya masih harus banyak latihan menulis deh..hehe)
Ternyata, menjadi sastrawan atau pelaku sastra, membutuhkan proses yang panjang dan ekstra kerja keras untuk mengasah dan mendalaminya ya?
Sekarang tinggal di kembalikan saja kepada kita semua yang merasa menjadi pelaku sastra dalam mencipta, mengkarsa, menilai dan mendedah karya kita itu, mau masuk katagori yang mana? Sastra murahan, picisan atau sastra yang benar-benar sastra bukan sebagai curahan hati saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar