Cari Blog Ini


Mari Berkembang, Mari Menulis

Setiap orang tentunya punya keinginan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik setiap saat. Dengan menulis, orang akan menemukan berbagai hal positif yang dapat membuat dirinya berkembang dan mampu menggapai cita-cita yang ingin digapai olehnya. Mari Berkembang, Mari Menulis, Kawan ... !!!

Tentang Penulis

Foto saya
siapa mau berusaha pasti ada jalan nya
Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

FESTIVAL SASTRA ISLAM NASIONAL DAN LOMBA CIPTA CERPEN PUISI 2015

Written By Menulis untuk Kehidupan on Minggu, 06 Desember 2015 | Minggu, Desember 06, 2015

yeahhh ... setelah puasa update posting sekitar 3 tahun lebih, untuk kali ini saya akan memulainya kembali. walaupun mungkin hanya sesekali duakali, syukur 2 bisa rutin dan tentu nya berbagi manfaat dengan teman-teman ... ok, check this out 

FESTIVAL SASTRA ISLAM NASIONAL 2015 DAN LOMBA CIPTA CERPEN PUISI FORUM LINGKAR PENA 


Minggu, Desember 06, 2015 | 0 komentar | Read More

CERPEN LANGIT MAKIN MENDUNG

Written By Menulis untuk Kehidupan on Kamis, 19 September 2013 | Kamis, September 19, 2013



Menulis Untuk Kehidupan
Langit Makin Mendung
Cerpen: Kipandjikusmin

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”
“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”
“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”
“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”
Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”
“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”
“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”
“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.
“Bagaimana, ya Tuhan?”
“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”
“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”
“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”
“Dan yang mati?”
“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”
“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.
“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.
“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).
“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”
“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).
***
Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya. Abubakar tercantum sebagao pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.
“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak berhingga.”
Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.
Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon. Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni surga dan bumi.
“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arrive surga, kita tak boleh melupakan perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka scmua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan Bumi.”
“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.
Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mikraj.
Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.
Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).
“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”
“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”
Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.
Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.
Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”
“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”
“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”
“Adakah umatku di Malaysia?”
“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”
“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”
“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”
“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana mereka bersembahyang Jumat?”
“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”
“Aneh. Gilakah mereka?”
“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”
“Aneh!”
“Memang aneh.”
“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”
“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”
“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”
“Sesungguhnya pdukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”
“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.
“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”
“Apa peduliku dengan nabi palsu!”
“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”
“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.
“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?” terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.
Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:
“Amien, amien, amien.”
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.
“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.
Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
***
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.
Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.
Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.
Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap Presiden alias PBR.
“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”
“Tidak, Pak.”
“Jadi tidak berbahaya?”
“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”
“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang semena-mena.
Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.
“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”
Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).
Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negaranya Tengku.
“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk tangan lagi).”
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.
Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik.
“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”
“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.
“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat-
Malaysia yang kelaparan …!
“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang menteri.
“Gembira sekali nampaknya dia.”
“Itu tandanya hampir mati.”
“Mati?”
“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”
“Tapi kami belum siap.”
“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”
“Tunggu saja tanggal mainnya!”
“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.
Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.
Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah.
Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.
Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.
“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.
“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.
“Apa benar yang paduka risaukan?”
“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”
“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”
“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”
“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”
“Buat apa?”
“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”
“Tapi tetap di luar manusia?”
“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”
“Aku tahu!”
“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”
“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.
Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum.
Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta Daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.
Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.
Hansip repot-repot …
“Apa yang Paduka renungi.”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”
“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.
Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.
Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”
“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.
“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”
“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”
“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”
“Toh, bisa diimpor!”
“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”
“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”
“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”
“Negara kapir itu?”
“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”
“Sama jahat keduanya pasti!”
“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”
“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.
“Ya, dunia sudah tua!”
“Padahal Kiamat masih lama.”
“Masih banyak waktu ya, Nabi!”
“Banyak waktu untuk apa?”
“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”
“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”
Kedua elang terbang di gelap malam.
“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”
“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”
Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”
“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”
“Sebetulnya siapa menurut kamu?”
“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”
“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”
“Dokumen.”
“Dokumen?”
“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”
“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”
“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”
“Ooh.”
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.
Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya.
Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
“Apa kabar Yang Mulia Togog?”
“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”
“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris…?”
“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.
“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”
“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”
“Jadi kapan selesai?”
“Seminggu lagi, pasti beres.”
“Kenapa begitu lama?”
“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”
“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”
“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jari-jarinya.
Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.
“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”
“Siapa mereka?”
“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.
Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.
“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.
“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.
“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”
“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”
“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”
“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”
“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”
“Apa katanya?”
“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”
“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.
“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”
“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”
“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita– kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”
“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”
“Kenapa begitu?”
“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”
“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.
“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran.
Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.
“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”
“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”
Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau daging babi.
“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.
“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”
“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”
“Gimana ini, Togog?”
“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.
“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.
“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”
“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”
“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”
“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”
“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.
“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.
“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”
“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”
“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.
“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”
“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”
“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”
“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”
“Yani ragu-ragu?”
“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”
“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”
“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”
“Bagaimana itu?”
“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.
Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda dan mana hasil gubahan sendiri.
“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah… dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.
“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”
“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”
“Pak Yani, tentu.”
“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”
“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.
“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”
“Dia nggak takut mati?”
“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” suara sember menyela lagi.
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.
***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.
“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.
Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras.
“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”
“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.
Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.
Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***
(Dikutip dari: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin: 17-41, 2004, MELIBAS: Jakarta).



Kamis, September 19, 2013 | 0 komentar | Read More

PENGALAMANKU DI TANAH SURABAYA

Written By Menulis untuk Kehidupan on Senin, 16 September 2013 | Senin, September 16, 2013

CATATAN PRIBADI



THE MEMORY OF JOURNEY IN EAST JAVA
            In this time, i’ll share what i do in my journey this time. Amazing, nerveous, and other. And this is it.
            Geregetan, mungkin itu kata yang terucap pertama kali. Geregetan di sini merupakan rasa yang bercampur padu. Karena kekonyolanku, bisa juga karena aku merasa, kok aku bisa sebego ini ya, ckckck, di rasa yang lain kok aku merasa senekad ini juga, hemmmmbbbb semua rasa itu berujung pada kata “ Geregetan tingkat Dewa”. Rasanya pengin moles pale ini seratuss kali. Pokoknya ....eghhhh, saking gag taunya cara mengungkapkan rasa ini.
            Rasa yang terjadi ketika aku dalam kejadian itu hingga masih terasa banget berkesan hingga pena ini menggoreskan kisah, bahkan maybe be something forever memory. Sebatang rokok menemani ku, membayangkan bagaimana pengalaman ku kali ini di bumi pahlawan di siang tadi. Aku yakin ini tak pernah terlupakan di masa yang akan datang.
            Berawal dari panggilan/ Calling dari SBYMagazine (10/09/13), dimana aku diminta datang ke Jl. Widodaren no. 3c-4, Surabaya untuk keperluan wawancara kerja. Sore itu juga aku langsung mempersiapkan diri membeli tiket di Stasiun Tugu Yogya. Dapatlah sebuah tiket untuk keesokan hari, Rabu 11 Sept 2013. Karena pertama kalinya, aku ngambah di tanah Bondo Nekat ini, alhamdulillah saya punya temen yang asli daerah sana. Itu pun ada kejadian unik. Setelah nyampe di Sri Retnowati Home Base, aku iseng-iseng buka internet. Jejaring sosial FB pun jadi pilihan pertama saat menjelajahi internet.
            Jesss, terpikirlah nama “ Dzikri “, temen satu kamar di pondok Nurul Ummah. Karena status Dzikri offline, sengaja ku sapa lewat inbox. “ Abahhh” begitulah sapaanku kepada dia ketika di pondok. Gayung pun bersambut, aku mendapat respon balasan dari dia. Singkat cerita, aku minta bantuan ketika nyampe di sana. Namun, ketika tahu aku berangkat dari Jogja malam hari, dia tidak bisa menyanggupi untuk membantu saya. Dia memberi solusi agar aku berangkat pagi hari dari Jogja dengan Bis, agar nyampe Surabaya sore hari. Dan akhirnya setelah pertimbangan ini, itu aku sepakat dengan solusi dia. Dan tiket yang sudah ku pesan pun Gosong, tidak terpakai, eman tenan rek.
            Pagi hari jelang berangkat ke lokasi, akhirnya jam 10 pagi aku meluncur ke lokasi. Akhirnya setelah sempet nyasar dan tanya 1, 2 orang d pinggir jalan, sampe juga di lokasi. SBYMagazine, pada awalnya aku berpikir ini SBY, Susilo Bambang Yodoyono, Presiden RI kah ?, kepikir juga SBY is Surabaya, but is not Right... SBY ternyata kepanjangan dari See Beyond Yourself, ngerti artine be ora ?.
            Bener aja, begitu masuk ke kantor, berrrr... merindingg,,
                        “ Work it “
                        “ Do it “
                        ..............
                        Strength ....
            Ne kantor apa ruang les bahasa inggris. Ibarat buku, Covernya aja udah bau english 2 gitu, eh di ruang sebelah yang pas kebetulan pemisah kacanya pake kaca putih, ada bule cewek lagi operasikan komputer. Setelah sempet ngobrol-ngobrol sebentar dengan satpam, dia itu Juragan e di kantor ini and sama sekali tidak bisa ngomong indonesia,, wewwwww.
            “ selamat siang ... “, seorang cowok sipit, kayaknya sie orang Taiwan, menyapaku .. Dia mulai menanyakan ini itu.
            “ Bisa Bahasa Inggris ?
            “ Just Little, I’m passive, jawabku.
Datang lagi seorang bule, kata satpamnya sie orang Australia.
            “ Ok, Bisa kita mulai “, bahasa Indonesia ya .. 
agak dipaksain juga sie menurutku, sie bule ngomong kayak gitu. Namun justru sebaliknya, saya harus memaksakan diri, yes or no .. oh yes , oh no, ketika mulai pembicaraan.
            Dag, dig derrrrrrrrrrrrrrr ... dor, dor. Ah, tak tahulah ini. Seperti kataku di depan, geregetannn, sampe sekarang pun masih terasa. Entahlah aku bener-bener diterima ato kagak ... ngebayangin aja kadang ketawa-ketawa sendiri, kok bisa ya .. haha. Tapi aku yakin, kalo aku diterima aku bakalan jago inggris .. walaupun inggris versi ngapak banyumas, haha.
            Jelas, pengalaman ini menjadi sesuatu yang amat berharga. Jika Luffy dalam anime One Piece, membawa semangat “ Will Of D “, maka dalam hal ini aku  juga membawa semangat “ Will Of Bonex “, sebagai oleh-oleh ku dari Surabaya ini.
            Tunggu kisah-kisah unik ku selanjutnya. Target : The Next City maybe Jakarta, i dont know ... Just Do it,, Go Ahead. 




           
Senin, September 16, 2013 | 1 komentar | Read More

PROYEK MENULIS PUISI : 1001 PUISI UNTUK KEKASIH 2012

Written By Menulis untuk Kehidupan on Selasa, 25 Desember 2012 | Selasa, Desember 25, 2012


PROYEK MENULIS PUISI : 1001 PUISI UNTUK KEKASIH 2012

Menulis Untuk Kehidupan

Deadline: 31 DESEMBER 2012


Kita bikin buku antologi puisi yuk…

ini bagi yang menyukai tulis puisi, sayang kalau puisi-puisi kalian yang bagus nan indah itu cuman disimpen di komputer aja mending ikutan proyek ini

proyek ini diberi nama…rencananya sih dijadiin judul…judulnya

1001 PUISI UNTUK KEKASIH

nah buku ini benar-benar akan berisi 1001 puisi. keren ga tuh!

bakal setebal apa tuh buku…

ayo buruan kirimkan puisi-puisi kalian. nanti akan diterbitkan di nulisbuku.com

Syaratnya:

tema puisi tentunya tentang CINTA! cara nyajiin puisinya bebasss….

karyanya belum pernah dimasukin ke antologi lain yah…trus harus karya ori kita masing2…

ga ngandung SARA ya…meskipun ga kenal SARA itu anaknya siapa…

panjang puisi bebas…font TNR 12 Margin 3333…spasi 1,5

deadline diperpanjang hingga tanggal 31 Desember 2012…masih lama kan tuh….

kiimkan sebanyak-banyaknya…batas minimalnya 5 puisi…

Nama File word-nya, tulis nama kamu aja. Semua puisi digabung aja dalam satu file beserta biodatanya. Kalo kamu mengirim lagi, tulis nama file nya Nama 2 atau Nama 3, dst.

Format subject mail adalah Judul Puisi – Nama Pengirim – Akun Twitter/FB/Blog.jangan salah yaaa! send ke rinoaribowo@gmail.com jangan lupa follow @RinoAribowo buat dapet infonya lebih banyak…

jangan lupa biodatanya pake narasi ya teman2 …semenarik mungkin…dan tulis semua prestasi yg telah diraih dan apa saja informasi tentang kalian…jadikan ini sebagai ajang promosi juga ya…di lembar terpisah atau badan email….

oya tapi nih nggak ada royalti yah…nanti bukunya dijual dengan harga produksi yang ada di nulisbuku.com…yang terpenting karya kita semua bisa dibaca sama orang dan jadi batu loncatan buat kita semua yang hobi nulis…

nanti jangan lupa promosiin buku kamu yaaaaah….SALAM INDIE!

Ayo segera kirimkan puisimuuuu…

nanya lebih lanjut mention ke @RinoAribowo yah….

Share ke 10 teman kamu di FB dan Twitter.

makasih…

Selasa, Desember 25, 2012 | 1 komentar | Read More

LOMBA CIPTA CERPEN 2013 “ ROMANTIKA CINTA ISLAMI”, JPIN CABANG GROBOGAN 2013


LOMBA CIPTA CERPEN 2013 “ ROMANTIKA CINTA ISLAMI”, JPIN CABANG GROBOGAN 2013

Menulis Untuk Kehidupan

Deadline: 5 Januari 2013

Kasmaran atau jatuh cinta merupakan proses alamiah dalam kehidupan manusia. Rasa cinta merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia. Rasa cinta merupakan anugerah dari Allah Swt untuk makhluk-Nya yang bernama manusia. Karenanya, tidak usah heran, bila di setiap kurun sejarah, selalu ada saja kisah-kisah cinta yang menggetarkan. Al-Qur’an sendiri sebagai kitab pegangan umat Islam pun merekam kisah cinta Yusuf-Zulaikha yang mendebarkan.
Dalam dunia sastra, kisah-kisah cinta selalu menjadi inspirasi yang menggelegakkan penciptaan karya sastra yang monumental. Sastrawan muda Indonesia Habiburrahman El-Shirazi sukses menuliskan kisah-kisah cinta Islami melalui novel-novel best seller-nya, di antara yang sudah difilmkan adalah berjudul Ayat Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.
Nah, berangkat dari spirit itu, Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN) Cabang Kab. Grobogan,  Jawa Tengah, bekerja sama dengan Divisi Penerbitan JPIN Pusat mengadakan Lomba Cipta Cerpen 2013 bertema “Romantika Cinta Islami”.
Ketentuannya adalah sebagai berikut:

    Lomba terbuka untuk umum seluruh warga Indonesia.
    Cerpen yang dikutkan lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, orisinal, dan bukan hasil plagiat.
    Peserta wajib meng-add akun facebook Divisi Penerbitan Jpin (http://www.facebook.com/admin.jpin), me-like fans page Jaringan Pena Ilma Nafia (http://www.facebook.com/JaringanPenaIlmaNafiaJPIN) dan me-like fans page Badiatul Muchlisin Asti (http://www.facebook.com/pages/Badiatul-Muchlisin-Asti/261971943925093).
    Posting info lomba ini di notes akun facebook masing-masing dan tag pada 25 teman termasuk akun fb Divisi Penerbitan Jpin.
    Naskah ditulis dalam kertas A4, font Times New Roman 12, 1,5 spasi, dengan panjang naskah maksimal 9.000 karakter dengan spasi (characters with spaces).
    Sertakan biodata dalam bentuk narasi di akhir naskah (bukan dalam file terpisah), cantumkan alamat lengkap dan no HP yang bisa dihubungi.
    Kirim ke email: adibna_da@yahoo.com dalam lampiran (attach file) dengan subjek JPIN GROB_JUDUL CERPEN_NAMA PENULIS.
    DL atau batas akhir pengiriman naskah pada tanggal 5 Januari 2013 pukul 20.00 WIB.
    Pengumuman pemenang (insyaalah) kurang lebih 3 minggu setelah DL.
    Pemenang terdiri dari Juara 1, 2, dan 3 masing-masing mendapat paket buku bacaan senilai Rp 400 ribu, Rp 250 ribu, dan 150 ribu, serta sertifikat.
    Dewan juri dari JPIN Pusat dan hasil keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.
    Naskah terbaik akan dibukukan secara indie dengan sistem POD (Print on Demand), jadi tidak ada bukti terbit maupun royalti. Namun penulis yang tulisannya masuk dalam buku mendapat diskon 15% bila menghendaki membeli buku.

Ditunggu cerpen cinta Islaminya…
Selamat berkarya!
JPIN Cabang Grobogan
Divisi Penerbitan JPIN Pusat
www.blogjpin.wordpress.com

Selasa, Desember 25, 2012 | 0 komentar | Read More